Pendidikan adalah investasi masa depan.
Tapi sayangnya, banyak siswa hari ini justru lebih rajin baca “pola gacor Fomototo” ketimbang modul pelajaran sejarah atau literasi digital dari Kemendikbud.
Kenapa bisa begitu?
Karena Fomototo tidak pernah kasih soal isian 10 nomor, tapi kasih harapan instan dalam 3 klik.
Data: Slot Menang, Sekolah Kalah di Mata Anak Muda
Menurut riset We Are Social (2024), usia 16–24 tahun di Indonesia merupakan kelompok pengguna internet terbesar, dengan rata-rata penggunaan internet harian mencapai 9 jam 3 menit.
Pertanyaannya:
Apakah waktu itu dipakai untuk belajar matematika? Tidak.
Mereka justru lebih banyak mengakses:
-
Game
-
TikTok
-
Dan, tentu saja… situs hiburan berbasis peluang seperti Fomototo
"Bang, link Fomototo yang gacor mana ya?"
Lebih sering ditanyakan ketimbang:
"Bu, gimana cara ngerjain integral substitusi?"
Kurikulum Merdeka vs Kurikulum Main Cepat Dapat Duit
Kemendikbudristek menggalakkan Kurikulum Merdeka:
-
Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila
-
Pembelajaran Berdiferensiasi
-
Pembiasaan Literasi Numerasi
Tapi kenyataannya di lapangan?
???? Di HP siswa, aplikasi Google Classroom disimpan di folder "Belajar" (yang tidak pernah dibuka).
???? Di tab sebelah, Fomototo login aktif sepanjang jam pelajaran PPKn.
Karena siapa peduli nilai KKM, kalau “spin malam ini katanya JP mulu bang!”
Fomototo: Guru Baru yang Tidak Pernah Terlambat Masuk Kelas
Keunggulan fomototo sebagai “guru” baru anak muda:
✅ Tidak butuh NUPTK
✅ Tidak pernah mogok karena SK belum turun
✅ Tidak mengajar dengan suara pelan di atas kipas angin rusak
✅ Dan yang pasti: selalu membuat murid “penasaran untuk mencoba lagi”
Kesimpulan: Fomototo dan Sekolah Kehidupan Digital
Fomototo bukan sekadar platform hiburan. Ia adalah kompetitor diam-diam dari sistem pendidikan yang tak lagi menarik perhatian muridnya.
Dan kalau kita tidak segera sadar, bisa jadi dalam waktu dekat:
“Cita-cita saya: jadi streamer Fomototo, Bu. Nggak ribet, langsung cuan.”
Mungkin yang perlu direvisi bukan lagi silabus. Tapi cara negara memahami kenapa anak muda lebih percaya peluang acak… daripada masa depan dari bangku sekolah.